Bengkulu (ANTARA) - Pakar politik sekaligus akademikus Universitas Bengkulu Dr Sugeng Suharto menyebutkan Mahkamah Konstitusi memutuskan soal sistem pemilu yang digunakan tetap sistem pemilu terbuka telah mencerminkan keinginan rakyat.
 
"Bisa dilihat bahwa apa yang disampaikan oleh wakil rakyat itu mencerminkan keinginan rakyat, delapan fraksi menolak sistem pemilu tertutup dan satu yang setuju pemilu tertutup. Meskipun itu juga tidak representatif, tapi dalam demokrasi yang banyak suara, yang menang. Dan MK memutuskan sistem pemilu tetap terbuka," kata dia di Bengkulu, Kamis.
 
Sebenarnya menurut Sugeng kedua sistem pemilu baik tertutup maupun terbuka sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Hanya saja, kalau dari sisi demokrasi sistem pemilu terbuka lah yang paling tepat.
 
"Hanya saja sistem ini juga memiliki kekurangan, dan sebenarnya kekurangan itu yang harus diperbaiki, sisi-sisi minusnya itu. Seperti yang selama ini disebutkan, contohnya potensi politik uang saat dalam menarik suara masyarakat," kata dia.
 
Terkait keputusan MK tersebut menurut Sugeng semua pihak hendaknya dapat menghormati apa yang telah diputuskan. Pro dan kontra terhadap sebuah putusan menurut dia merupakan dinamika yang wajar asal diekspresikan melalui cara dan ruang-ruang yang tepat.

Baca juga: Anggota DPR apresiasi putusan MK
Baca juga: Fadli Zon apresiasi putusan MK pertahankan sistem pemilu terbuka
 
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Para Pemohon pada sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.
 
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI.
 
Dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa para Pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.
 
"Dalil tersebut hendak menegaskan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009 sampai dengan 2019 partai politik seperti kehilangan peran sentral-nya dalam kehidupan berdemokrasi," ujar Saldi Isra.
 
Menurut Mahkamah, tuturnya melanjutkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil para pemohon adalah sesuatu yang berlebihan.
 
"Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon,"
ujar Saldi Isra.

Baca juga: Saldi Isra sebut cuitan Denny Indrayana rugikan MK
Baca juga: Pimpinan MPR nilai putusan MK soal sistem pemilu sesuai aspirasi

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Indra Gultom
COPYRIGHT © ANTARA 2023