Jakarta (Antara News) - Lembaga Anti Doping Indonesia terancam non-aktif menyusul pengunduran diri beberapa pengurusnya karena tidak dapat menjalankan program-program setelah anggaran untuk lembaga tersebut dihentikan oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga mulai tahun 2012 silam.

Beberapa pengurus LADI yang telah mengajukan pengunduran diri antara lain Ketua Umum LADI Dwi Hatmisari Ambarukmi, Koordinator Bidang Manajemen Hasil LADI Cahyo Adi, dan Bendahara LADI Rusmadi.

"Ketua umum mundur, saya mundur, bendahara juga mundur karena mulai 2012 sudah tidak ada lagi pendanaan sehingga kami tidak bisa menjalankan program, padahal program kerja kami banyak sekali," kata Cahyo kepada Antara, Senin.

Cahyo mengatakan LADI sebagai lembaga anti doping Indonesia yang berada di bawah naungan Deputi IV Bidang Pembinaan Prestasi Kemenpora ini padahal mempunyai peranan penting untuk mensosialisasikan terkait doping baik kepada atlet, pelatih maupun pengurus induk organisasi dan pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di seluruh provinsi Indonesia.

Akibat anggaran dihentikan, lanjut Cahyo, pengurus LADI otomatis tidak dapat menjalankan program-program mereka seperti sosialisasi doping, pendidikan soal doping. Tugas utama LADI lainnya yakni menggelar tes doping dengan mengambil sampel urine atlet secara acak pada saat kompetisi resmi berlangsung (in competition) dan di luar kompetisi (out of competition). Pengambilan sampel serta biaya pemeriksaan sampel satu orang atlet di laboratorium diThailand pun mmebutuhkan biaya besar.

"Sosialisasi doping itu penting sekali, buktinya di PON sampai delapan atlet kena kasus doping karena tidak tahu. Kok bisa tidak tahu? Ya karena tidak ada sosialisasi," jelas Cahyo.

Kasus atlet terkena doping banyak terjadi karena atlet tersebut beserta pelatih dan pengurusnya tidak mempunyai pengetahuan luas terkait doping.

Hal ini telah terjadi termasuk pada delapan atlet Pekan Olahraga Nasional (PON) di Riau September 2012 yang positif menggunakan doping. Dan kasus yang baru terjadi, Indra Gunawan dan Guntur Pratama Putera dinyatakan positif menggunakan doping berjenis zat Methylhexaneamine yang masuk melalui suplemen, yang mereka gunakan sebelum berlomba di ajang Asian Indoor and Martial Arts Games 2013 di Incheon, Korea Selatan.

Cahyo menggambarkan dari 43 cabang olahraga, yang paling rentan tersandung kasus doping misalnya sebanyak 20 cabang olahraga, maka sosialisasi serta pengambilan sampel perlu dilakukan belum lagi sosialisasi ke 33 KONI provinsi.

"Itu harus kita datangi satu persatu. Kalau kami kesana kemari harus beli tiket sendiri, ya maaf saja, daripada hanya idealis tetapi tidak difasilitasi nantinya kami yang remuk," tutur Cahyo.

Meskipun begitu, LADI tetap menangani atlet yang tersandung kasus doping dengan menjalankan sidang termasuk kepada delapan atlet PON yang positif menggunakan doping.

"Kalau sidang kami pakai dana sendiri, gaji tidak ada, ongkos juga sendiri, saya sewa tukang ketik sendiri sampai internet dan kertas pun tidak ada," kata Cahyo yang menggambarkan pekerjaannya seperti sukarelawan.

Menurut Cahyo, sebelumnya mereka telah mengadu kepada pihak Kemenpora terkait tersendatnya program LADI karena tidak ada dana namun ternyata kondisi belum berubah. Bahkan untuk tes doping atlet Indonesia, LADI harus mengajukan permintaan bantuan kepada Lembaga Antidoping Dunia (WADA).

Pewarta: Monalisa
Editor: Fitri Supratiwi
COPYRIGHT © ANTARA 2013