Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN Dewa Ketut Sandra Swastika mengatakan Indonesia membutuhkan terobosan kebijakan ekstrem untuk mewujudkan program swasembada kedelai.
 
"Pertama, harus ada penyediaan lahan karena lahan yang sudah ada sekarang hampir tidak mungkin," ujarnya dalam lokakarya bertajuk swasembada kedelai yang dipantau di Jakarta, Selasa.

Baca juga: BRIN: Kebijakan ekstrem diperlukan untuk wujudkan swasembada kedelai
 
Dewa menuturkan puncak areal panen kedelai di Indonesia terjadi pada tahun 1992 seluas 1,67 juta hektare dengan angka produksi mencapai 1,87 juta ton, namun saat itu masih ada impor sebanyak 690 ribu ton.

Setelah tahun 1992, areal panen terus menurun hingga menjadi 0,20 juta hektare dengan produksi 0,29 juta ton pada tahun 2020. Areal panen yang menurun tajam mencerminkan penurunan minat petani untuk menanam dan berusaha tani kedelai.

Data Kementerian Pertanian menyebutkan Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,47 juta ton pada tahun 2020.
 
“Petani beralih ke tanaman palawija lain, sehingga sulit mengharapkan perluasan areal yang sudah ada. Pembukaan lahan perlu dilakukan sampai ke kawasan baru produksi kedelai,” ujar Dewa.
 
Kebijakan ekstrem lain yang mesti dialirkan adalah penyediaan benih kedelai bermutu. Saat ini industri benih kedelai tidak berkembang karena multiplikasi benih kedelai kalah jauh jika dibandingkan multiplikasi benih padi.
 
Dewa mencontohkan produksi 5 kilogram benih padi bisa menghasilkan 5-7 ton gabah kering, sedangkan kedelai hanya bisa menghasilkan 1 ton.

Baca juga: Indonesia perlu kekhasan produk olahan kedelai bukan swasembada
 
Multiplikasi benih kedelai hanya 40 kali, sedangkan multiplikasi padi bisa 200 kali. Fakta ini menjadi salah satu faktor yang membuat perusahaan benih tidak tertarik dengan bisnis kedelai.
 
"Usaha tani harus skala besar. Kita tidak bisa mengharapkan petani yang ada saat ini, salah satu upaya kita harus melibatkan BUMN maupun swasta karena tanpa mereka sulit untuk melakukan usaha tani skala besar," kata Dewa.
 
Lebih lanjut, dia menyampaikan bahwa agar petani termotivasi untuk melakukan usaha tani kedelai, maka pemerintah harus campur tangan dengan menjamin pasar untuk komoditas kedelai.
 
Regulasi impor juga perlu diperkuat agar kedelai lokal tidak kalah harga dengan kedelai impor. Pemerintah perlu membatasi impor kedelai saat perusahaan dan petani menghasilkan kedelai.
 
Indonesia punya bundling tarif Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO sebesar 27 persen, tetapi belum pernah dioptimalkan. Batas tarif yang pernah diambil oleh Indonesia maksimum 10 persen, namun lebih sering justru 0 persen.
 
"Bagaimana kedelai kita bisa bersaing kalau kedelai bebas masuk tanpa tarif. Kalau kita menerapkan tarif, ini terkait politik perdagangan. Amerika Serikan pasti berusaha untuk mempersulit impor kita terhadap produk lain," kata Dewa.
 
"Ini adalah beberapa konsinyering yang kita hadapi jika kita ingin memaksakan swasembada kedelai yang hampir tidak mungkin bisa kita capai," pungkasnya.

Baca juga: Program tanam 1.000 hektare kedelai di Lampung dimulai September

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Sambas
COPYRIGHT © ANTARA 2024