Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin menilai bahwa ekspektasi untuk mewujudkan swasembada kedelai semakin sulit untuk tercapai sehingga pemerintah harus mulai mengalihkan fokus pada pengembangan produk kedelai khas Indonesia.

Dalam webinar yang dipantau di Jakarta, Selasa, Bustanul menyampaikan bahwa produk kedelai Indonesia terus merosot hingga 4 persen per tahun. Pada 2023, angkanya bahkan tak mencapai 400 ribu ton, karena nyaris tidak ada program intervensi khusus dari pemerintah, setidaknya dalam dua tahun terakhir.

Di sisi lain, konsumsi kedelai terus meningkat seiring dengan pertumbuhan industri berbasis pangan. Hal ini mengakibatkan lonjakan impor kedelai, mencapai 2,7 juta ton kacang dan 6 juta ton bungkil kedelai.

“Jadi agak berat untuk memaksakan (swasembada kedelai),” kata dia.

Menurut Bustanul, alih-alih mengejar swasembada kedelai, pemerintah sebaiknya fokus pada pengembangan produk kedelai khas Indonesia agar memiliki nilai tambah. Ia menyebut kedelai Indonesia memiliki keunggulan rasa dan kualitas, sehingga seharusnya dapat dimanfaatkan lebih baik.

“Tapi untuk produksi massal, menyaingi negara lain terlalu berat. Sumber daya kita sudah tidak seperti dulu lagi,” sambungnya.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dewa Ketut Sadra Swastika, mengatakan bahwa swasembada kedelai sulit dilakukan karena kurangnya lahan yang dapat dijadikan sebagai kawasan baru produksi kedelai.

Puncak areal panen terjadi pada 1992 seluas 1,67 juta hektare dengan produksi 1,87 juta ton kedelai. Dewa, mengutip data badan PBB untuk urusan pangan FAO pada 2023, menyebut bahwa areal panen kedelai terus menurun hingga menjadi 0,20 juta hektare dengan produksi hanya 0,29 juta ton pada 2020.

Tajamnya penurunan areal panen ini mencerminkan minat petani untuk berusaha tani kedelai, kata dia.

Tak hanya itu, Dewa menyampaikan dari sisi kebijakan pembangunan pertanian pun kedelai merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung.

Program-program peningkatan produksi saat ini terfokus pada padi untuk swasembada beras. Sedangkan prioritas kedua adalah peningkatan produksi jagung melalui penggunaan benih hibrida.

Sementara itu, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Batara Siagian, mengatakan bahwa pada 2024 pemerintah tak mengalokasikan dana APBN untuk bantuan dan produksi kedelai. Bantuan ini sebelumnya diberikan pada 2020–2023.

Pada 2023, realisasi APBN untuk bantuan dan produksi kedelai mencapai Rp374 juta dengan produksi 347 ribu ton.

Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri.

Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa pada tahun 2023, Indonesia mengimpor 2,27 juta ton kedelai dengan nilai 1,47 miliar dolar AS atau sekitar Rp23,65 triliun.

Di sisi lain, ekspor kedelai dari Indonesia hanya mencapai 2.561 ton dengan nilai 1.159 dolar AS atau sekitar Rp18,65 juta.

Baca juga: Peneliti BRIN sebut swasembada kedelai butuh kebijakan ekstrem
Baca juga: Indonesia perlu kekhasan produk olahan kedelai bukan swasembada


Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Ahmad Wijaya
COPYRIGHT © ANTARA 2024