Jakarta (ANTARA) - Pengamat properti Ali Tranghanda dari Indonesia Property Watch mengungkapkan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) tidak bisa berdiri sendiri dan harus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga negara (K/L) terkait suplai lahan untuk rumah rakyat dari dana Tapera.

"Tapera tidak bisa berdiri sendiri, karena Tapera ini sifatnya pengumpulan dana dan dana yang terkumpul tersebut dapat berfungsi kalau suplai tanahnya ada. Lalu suplai tanahnya ada dimana? Suplainya ada di Kementerian Dalam Negeri, kemudian Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) sebagaimana diamanahkan UU Cipta Kerja, dan Badan Bank Tanah," ujar Ali di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, suplai tanah untuk Tapera ini mesti ditetapkan harganya dan dialokasikan khusus bagi rumah rakyat yang dibangun dengan dana Tapera.

"Tapera pada prinsipnya bagus itu bisa menjadi dana abadi perumahan. Namun, yang saya khawatirkan dan menjadi perhatian kita adalah masalah pengelolaannya di mana jangan sampai pengelolaan tersebut tidak transparan dan ini yang saya khawatirkan," katanya

Menurut Ali, kekhawatiran tersebut didasarkan pada pertama, di BP Tapera belum ada wakil dari unsur masyarakat atau konsumen yang mana masyarakat mengetahui transparansi penggunaan dana Tapera.

"Dana Tapera dari iuran masyarakat itu merupakan dana jumbo," katanya.

Kedua, ketika manajer investasi mengalami kerugian dalam mengelola dana Tapera yang bersumber dari iuran masyarakat, maka pihak yang harus menanggung siapa? Karena dalam undang-undang pasar modal tidak bisa menyalahkan manajer investasi kalau terjadi kerugian, sehingga kerugian mau tidak mau harus ditanggung masyarakat.

"Lalu bagaimana pertanggungjawaban BP Tapera nanti. Pada intinya Tapera ini merupakan hal yang bagus dan kita dukung, tetapi terkait pengelolaannya harusnya bisa transparan. Jadi harus ada rambu-rambunya dan kita sebagai masyarakat bisa mengontrol bersama-sama dengan pemerintah," kata Ali.

Menurut dia, penerapan angka 3 persen untuk Iuran Tapera mesti diberlakukan secara bertahap. Di mana pada awal-awal tahun pertama penerapan Tapera mesti ada subsidi atau sejenisnya, karena kembali lagi yang menanggung Iuran Tapera ini adalah perusahaan dan pekerja.

"Sebagaimana kita ketahui saat ini perusahaan, pekerja dan masyarakat sudah dibebani dengan sejumlah iuran seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan segala macam. Yang penting besaran angka 3 persen atau berapapun itu merupakan angka yang relatif. Namun yang penting adalah masyarakat harus diyakinkan agar percaya bahwa dana atau iuran yang mereka setorkan betul-betul digunakan bagi masyarakat secara tepat sasaran," ujarnya.

Sejauh ini masyarakat juga belum mengetahui peta jalan pemanfaatan dana Tapera maupun BP Tapera itu sendiri. Dengan demikian pemerintah harus intensif mensosialisasikan dana Tapera dan BP Tapera kepada masyarakat.

Sosialisasi tersebut dapat dilakukan melalui proyek-proyek atau model percontohan di daerah-daerah dari pemanfaatan dana Tapera, agar menumbuhkan kepercayaan kepada masyarakat.

Di samping itu, karena dana Tapera ini juga dimanfaatkan untuk membantu kepemilikan rumah pertama, maka sosialisasi dari pemerintah tersebut perlu juga didukung dengan ketersediaan atau alokasi lahan bagi pembangunan rumah dari dana Tapera.

"Kalau semua fundamentalnya ini ada itu bagus, namun kembali lagi Tapera tidak bisa berdiri sendiri dan harus berkoordinasi dengan semua kementerian/lembaga negara terkait seperti Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Daerah, Badan Bank Tanah, BP3, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. BP Tapera tidak bisa berdiri sendiri, dia harus berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan di bidang perumahan dan pertanahan," ujar Ali.

Baca juga: Kadin: Tapera bertujuan baik tapi tidak semua perusahaan sehat
Baca juga: Jusuf Kalla: Kebijakan Tapera bantu masyarakat miliki rumah

Pewarta: Aji Cakti
Editor: Ahmad Wijaya
COPYRIGHT © ANTARA 2024