Jakarta (ANTARA) - Pemerintah diminta menyederhanakan sistem cukai rokok di Indonesia yang saat ini masih berlapis sehingga membuat selisih harga rokok antar golongan semakin jauh.

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto mengatakan banyaknya layer dalam struktur tarif cukai rokok mempengaruhi besarnya cukai yang dikenakan pada produk-produk tembakau di Indonesia.

"Perbedaan pungutan cukai dari masing-masing layer itu cukup signifikan. Ini yang memicu produsen berpindah dari satu layer ke layer lainnya dengan cara memproduksi barang sejenis bermerek baru dengan harga lebih murah," kata Agus dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

Sebagai referensi, tarif cukai rokok saat ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022, di mana terdapat delapan layer tarif untuk sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT).

Sebagai contoh, untuk SKM yang merupakan kategori terbesar, tarif cukai yang ditetapkan untuk golongan 1 sebesar Rp1.231/batang sedangkan untuk golongan 2 sebesar Rp746/batang.

Di tingkat konsumen, penerapan struktur cukai rokok yang berlapis juga mendorong menjamurnya merek rokok baru dengan harga yang lebih murah. Hal itu membuat konsumen cenderung menurunkan pilihannya ke rokok sejenis dengan harga lebih murah.

Baca juga: Reformulasi tarif cukai rokok dilakukan guna naikan penerimaan CHT

Kerumitan tersebut, menurut Agus, dapat diselesaikan dengan menyederhanakan atau simplifikasi sistem cukai rokok di Indonesia yang saat ini termasuk paling kompleks di dunia.

"Pemerintah harus berani memangkas gap pungutan cukai antara satu layer dengan layer lainnya untuk mempersempit perbedaan harga. Dengan demikian, pilihan konsumen ke produk yang lebih murah menjadi semakin sempit," ujarnya.

Senada, Kepala Riset dan Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) Olivia Herlinda menyatakan peralihan konsumsi ke rokok yang lebih murah dapat terjadi karena Indonesia menerapkan sistem cukai yang kompleks dan berlapis.

Saat ini, masing-masing segmen SKM, SPM, dan SKT memiliki layer tarif yang berbeda berdasarkan golongan produksi dengan perbedaan tarif antar golongan mencapai 40 persen. Padahal, ketika cukai rokok naik, maka diharapkan seluruh harga rokok naik dan terjadi perubahan perilaku berupa penurunan konsumsi yang pada akhirnya terjadi peningkatan kesehatan masyarakat.

"Namun, sekarang nyatanya perubahan perilaku yang terjadi adalah masyarakat memilih rokok yang lebih murah karena memang di lapangan masih ada produk rokok yang terjangkau akibat penerapan cukai pada layer bawah yang lebih rendah," kata Olivia.

Hal tersebut juga tercermin ketika pandemi COVID-19 saat ekonomi lesu dan masyarakat mengalami masalah finansial seperti pendapatan yang menurun. Faktanya, tidak ada perubahan konsumsi rokok, namun yang terjadi malah transisi ke produk rokok yang lebih murah.

Olivia juga memaparkan bahwa pengurangan variasi harga rokok sebagai solusi downtrading merupakan salah satu rekomendasi berbagai hasil kajian CISDI.

Hal itu juga sejalan dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyarankan besaran jarak tarif dan harga jual eceran antar golongan harus dibuat semakin kecil untuk mendorong efektivitas kebijakan cukai.

Selain itu, ia juga menekankan kenaikan cukai rokok dapat mendorong perokok untuk mengurangi bahkan berhenti merokok, di mana kenaikan tersebut dinilai juga akan berdampak positif pada situasi makroekonomi.

"Rekomendasi kami sejalan dengan rekomendasi yang diberikan oleh WHO, yaitu membuat harga rokok tidak terjangkau dengan kenaikan harga cukai dan simplifikasi layer tarif cukai," tuturnya.

Baca juga: Kenaikan tarif cukai rokok perlu pertimbangkan kemampuan industri

Baca juga: Pekerja minta pemerintah cermati keberlanjutan industri hasil tembakau

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Agus Salim
COPYRIGHT © ANTARA 2024