Jakarta (ANTARA) - Budayawan Betawi Yahya Andi Saputra mengatakan masyarakat yang ingin mempelajari sastra Betawi bisa memulai dari karya apapun sesuai minat mereka baik novel, cerpen, puisi maupun naskah sandiwara.

"Orang-orang yang karyanya bagus seperti Firman Muntaco, SM Ardan, Zeffry al-Katiri, itu bisa dipelajari buku-bukunya," kata dia di Jakarta, Jumat.

Yahya yang juga peneliti di Lembaga Kebudayaan Betawi menyebut nama Ridwan Saidi. Ridwan Saidi yang dulunya dikenal sebagai seorang aktivis, anggota DPR, intelektual Islam, cukup kental memasukkan sentuhan politik dan budaya ke dalam karya-karyanya.

Tercatat, pria kelahiran tahun 1942 itu sudah menelurkan lebih dari 20 buku terkait kebudayaan.

"Kalau saya membaca novel dari Pak Ridwan Saidi, dialog dalam novelnya komplit. Jadi menggunakan bahasa gaul, bahasa Betawi, Inggris, Belanda. Salah satu novelna, 'Diburu Mossad', kalau buku non-fiksi banyak," tutur dia.

Baca juga: Budayawan Betawi: Mantra kini bisa digunakan seperti halnya pantun

Di sisi lain, terkait sastrawan Betawi yang menjadi bagian dari sasta Indonesia, sejarawan JJ Rizal menyebutkan dua nama, yakni SM Ardan dan Firman Muntaco.

SM Ardan menjadi sosok pertama yang merespon krisis sastra tahun 1950-an. Kala itu muncul keinginan adanya warna lokal atau Indonesia di dalam sastra.

"Dia meninggalkan dunia puisi lalu pindah ke cerpen yang sangat berbeda, 'Terang Bulan Terang di Kali' tahun 1957 dan langsung menjadi perhatian," ujar Rizal.

Rizal berpendapat cerpen SM Ardan dianggap dekat dengan persoalan-persoalan rakyat terutama orang-orang kecil yang hidup di Jakarta.

Saat itu, hidup orang-orang kecil tidak pernah diceritakanndan mereka dianggap non-faktor oleh sastra. Tetapi, SM Ardan membawa itu ke dalam sastra menggunakan bahasa Betawi.

"HB Jassin bilang SM Ardan adalah bagian dari sastra Indonesia, karena dia bukan dengan pretensi menulis sebuah karya sastra Betawi, tetapi menulis sebuah dokumentasi sosial tentang orang kecil yang tinggal di Jakarta," kata dia.

Baca juga: "Rumah Ini Punya Siapa?", sastra Betawikah?

Selain SM Ardan, ada juga nama Firman Muntaco yang menerbitkan karya-karyanya berupa cerita pendek dengan dialog. Karyanya dimuat di rubrik "Cermin Jakarta" lalu berubah menjadi "Gambang Jakarta" di sebuah koran.

Menurut Rizal, Firman Muntaco menyebut karyanya sebagai sketsa dan ini disukai banyak pembaca. "Dia muncul menggunakan seluruhnya bahasa Betawi dalam karyanya," katanya.

Firman Muntaco menulis dengan cepat seperti sebuah laporan tetapi punya kualitas sastra yang kemudian dinilai luar biasa. "Dan itu memperoleh sukses karena banyak pembacanya," kata Rizal.

Rizal mengatakan, Firman Muntaco dianggap sosok yang berperan besar dalam membuat perkembangan bahasa Betawi itu menjadi lingua franca atau bahasa pengantar.
Baca juga: Humor jadi unsur dominan dalam sastra betawi

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Sri Muryono
COPYRIGHT © ANTARA 2024