Jakarta (ANTARA) - DBS Group Research merekomendasikan para investor untuk menambah porsi pada saham-saham Amerika Serikat (AS) di kuartal ketiga 2024 mengingat kinerja saham AS diperkirakan tetap tangguh di tengah greedflation dan prospek pendapatan yang kuat.

“Untuk balanced risk investor, kali ini kami menganjurkan penempatan portofolio berikut. Sebesar 45 persen (total) dialokasikan di saham, dengan porsi saham AS yang cukup besar yakni 27 persen,” kata Chief Investment Oficer (CIO) DBS Hou Wey Fook dalam paparan “DBS CIO Insights 3Q24” secara daring diikuti di Jakarta, Senin.

Selain itu, penempatan pada saham-saham Asia di luar Jepang juga direkomendasikan untuk ditingkatkan dengan porsi sebesar 11 persen.

Menurut DBS, ini sejalan dengan kinerja saham Asia di luar Jepang yang akan tetap kuat, didukung oleh langkah-langkah kebijakan dan valuasi yang murah.

Namun, DBS merekomendasikan investor untuk mengurangi porsi pada saham-saham Eropa sementara saham-saham Jepang dinilai berada pada posisi yang netral. Porsi yang direkomendasikan untuk saham Eropa dan Jepang masing-masing sebesar 2 persen dan 5 persen.

Baca juga: DBS Indonesia beri fasilitas pinjaman berjangka hijau untuk Kaer

Baca juga: DBS proyeksi ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen pada 2024


DBS mempercayai pasar saham akan tetap tangguh di paruh kedua tahun 2024. Ini didorong oleh ketahanan margin laba, prospek laba perusahaan yang positif, valuasi yang tidak terlalu tinggi, dan dukungan likuiditas dari basis moneter AS yang berkembang, yang berkorelasi erat dengan S&P 500.

Salah satu segmen yang diperkirakan meraih keuntungan dari situasi era suku bunga yang higher-for-longer, menurut DBS, yaitu perusahaan big tech dengan kepemilikan kas yang besar.

Perusahaan-perusahaan big tech yang beroperasi dengan inovasi dan teknologi terbaru, catat DBS, dapat mencatat pertumbuhan pendapatan yang kuat di tahun-tahun mendatang dengan perkiraan pertumbuhan pendapatan sebesar 44 persen pada 2024 dan 19 persen pada 2025.

“Melihat pasar bullish saat ini, yang sebenarnya dimulai pada Oktober 2022, teknologi jelas merupakan sektor yang paling unggul dibandingkan sektor lainnya. Meskipun kami tetap optimistis pada sektor teknologi secara jangka panjang, kami yakin sektor-sektor lain seperti energi, keuangan dan ekuitas di pasar negara berkembang masih memiliki ruang untuk mengejar ketertinggalan,” kata Hou.

Selain itu, segmen lain yang juga diprediksi mendapat keuntungan di kuartal ketiga yaitu perusahaan energi hulu dengan tingkat utang yang rendah dan perusahaan keuangan berkapitalisasi besar dengan "exposure" rendah terhadap real estat komersial.

Meski pasar saham diperkirakan terus berkinerja baik, di sisi lain DBS tetap mempertahankan preferensi terhadap obligasi. DBS mencatat, selisih imbal hasil negatif antara dividen saham AS dan imbal hasil obligasi Pemerintah AS dengan jangka waktu 10 tahun telah melebar. Hal itu mendukung daya tarik relatif lebih kepada obligasi dibandingkan saham.

Terkait kredit, DBS menilai imbal hasil berada di titik infleksi (inflection point) antara kebijakan ketat dan momentum ekonomi yang melemah. Posisi terbaik, menurut DBS, tetap berada di obligasi rating A/BBB, dengan durasi barbel pada obligasi 1-3 tahun untuk imbal hasil absolut yang tinggi dan obligasi 7-10 tahun untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih besar.

Baca juga: Ekonom DBS sebut defisit RI tidak mengkhawatirkan

Baca juga: DBS Indonesia salurkan pendanaan transisi hijau Rp6,1 triliun di 2023


Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
COPYRIGHT © ANTARA 2024