Garut, Jawa Barat (ANTARA) - Badan Informasi Geospasial (BIG) menegaskan salah satu tujuan diberlakukannya skema berbagi pakai data gaya berat antar-instansi di dalam negeri adalah untuk mengetahui potensi kekayaan bumi Indonesia dan dapat melindunginya dari kecurangan investasi asing.

"Kalau tidak berbagi maka asing yang lebih banyak tahu dari pada kita, ya kita bisa dibohongi. Misal mereka mau berinvestasi dengan asumsi kandungannya cuma tembaga, padahal ada emas, kita yang rugi," kata Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar BIG, Muhammad Arief Syafi'i saat ditemui dalam pertemuan ke-7 Konsorsium Gayaberat Indonesia (KIG) di Garut, Jawa Barat, Selasa.

Arief menjelaskan saat ini seiring kemajuan teknologi pihak asing dapat mengetahui potensi sumber daya alam dan energi yang terkandung di wilayah Indonesia lebih lengkap dari sistem satelit.

Kondisi tersebut yang kemudian dinilai menjadi potensi terjadinya kecurangan oleh pihak yang ingin berinvestasi dalam bidang eksplorasi sumber daya energi yang terkandung di dalam bumi Indonesia.
m.rIEZKO

Baca juga: BIG target peta dasar Indonesia setara dengan Google dalam empat tahun

Kekhawatiran tersebut semakin dikuatkan berdasarkan catatan BIG diketahui Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau dengan luas daratan sekitar 1,9 juta kilometer persegi, dan 6,4 juta kilometer persegi wilayah laut yang belum semua potensi sumber daya alam / energi nya terdata secara lengkap.

Adapun khususnya wilayah maritim yang menurut Arif saat ini baru terdata sekitar 3 persen dari total luas laut yang ada, oleh sebab itu pihaknya membutuhkan dukungan dari berbagai instansi berbagi pakai data gaya berat.

"Diharapkan bisa dimaksimalkan dengan berbagi pakai data gaya berat yang bermanfaat untuk eksplorasi sumber daya alam seperti minyak, panas bumi, gas bumi, mineral di darat dan laut maupun untuk bencana sesar patahan dan seterusnya," kata dia.

Oleh sebab itu, BIG mendorong semua instansi yang memiliki data gaya berat di untuk saling berkolaborasi membuka akses pemanfaatan data tersebut secara luas dan wajar tanpa keraguan karena sudah miliki ketentuan dan payung hukum yang jelas; sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial dan diperbaharui dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Cipta Kerja.

Dorongan tersebut menurut Arief, dikhususkan pihaknya kepada sektor swasta yang selama ini masih cenderung membatasi akses data mereka karena dianggap rahasia perusahaan.

"Saling ngumpetin data masalahnya. ya pihak swasta ini, mereka harus ada penyesuaian regulasi dan sebagainya," ujarnya.

Baca juga: BIG pastikan pemetaan dasar laut Indonesia berlanjut

Namun dibalik itu, dia mengaku optimistis hambatan ini bisa cepat teratasi dan Indonesia bisa memiliki data daya berat terintegrasi dengan cara memaksimalkan komunikasi pentingnya berbagi data bersama Konsorsium Gayaberat Indonesia yang terdiri dari lembaga Pemerintah kementerian/non Kementerian, BUMN, dan Perguruan Tinggi.

Semua pihak pun didorong untuk menelaah manfaat yang lebih luas, seperti dengan berbagi pakai maka sebuah instansi bisa meringankan anggaran untuk melakukan pengukuran daya berat yakni per satu wilayah dengan rentang jangkauan 10-15 kilometer bisa mencapai sekitar Rp7 miliar.

"Kendala umum dalam data sharing itu sebetulnya willingness untuk berbagi. Saya pikir ini tinggal menunggu waktu saja. Bisa dikomunikasikan dalam semacam MoU atau perjanjian dengan instansi terkait bersama KGI sehingga data-data itu bisa di berbagi pakaikan meningkatkan efisiensi," ujarnya.

Baca juga: Menyingkap masa depan dunia kesehatan dengan Informatika dan Big Data

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Triono Subagyo
COPYRIGHT © ANTARA 2024