Garut (ANTARA) - Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) Provinsi Jawa Barat menyebutkan lahan pertanian di Kabupaten Garut mulai mengalami kekeringan sehingga petani secara swadaya melakukan pompanisasi untuk mengatasinya agar tanaman tetap tumbuh.

"Sampai saat ini masih penanganan di lapangan, masih penanganan swadaya oleh para petani khusus untuk tanaman padi dengan cara gilir giring dan pompanisasi," kata Koordinator Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) Kabupaten Garut dari BPTPH Jawa Barat, Ahmad Firdaus di Garut, Kamis.

Ia menuturkan kondisi cuaca di Garut saat ini sudah memasuki musim kemarau, meski begitu untuk kemarau tahun ini masih ada turun hujan dengan intensitas rendah, sehingga petani masih bisa mengharapkan air hujan untuk mengairi lahan pertanian.

Namun dampak kemarau tahun ini, kata dia, tercatat sampai 15 Juni 2024 kondisi lahan yang dilanda kekeringan untuk padi seluas 73 hektare dengan kondisi kekeringan ringan seluas 66 hektare, sedang 2 hektare dan berat 5 hektare.

Selanjutnya lahan komoditas jagung tercatat kekeringan sedang seluas 7 hektare, kemudian tanaman bawang merah kekeringan sedang seluas 87 hektare tersebar di Kecamatan Mekarmukti, Peundeuy, Garut Kota, Pangatikan, Sukawening, Banyuresmi, Cibatu, Blubur Limbangan, Selaawi, Sucinaraja, Bayongbong dan Sucinaraja.

"Yang sudah penanganan secara swadaya di lapangan melalui pompanisasi dan gilir giring seluas 68 hektare," katanya.

Baca juga: Dishut Jabar gelorakan "pasar leuweung" tingkatkan ekonomi petani

Baca juga: Industri kulit Garut diminta diimbangi baiknya pengolahan limbah


Ia menyampaikan untuk mengatasi kekeringan lahan pertanian tahun 2024 itu Kementerian Pertanian maupun Dinas Pertanian di daerah sudah mengalokasikan untuk kegiatan pompanisasi dan irigasi perpompaan agar lahan tetap menghasilkan saat kemarau.

Kondisi saat ini, kata dia, pompanisasi baru dilakukan di lahan padi karena akses untuk mendapatkan air irigasi lebih mudah, sedangkan untuk lahan tanaman jagung dan bawang merah lokasinya di lahan darat sulit mendapatkan sumber air yang dapat dimanfaatkan.

Jika tidak terpenuhi kebutuhan airnya, lanjut dia, kemungkinan tanaman jagung dan bawang merah terancam gagal panen, namun petani masih berharap dengan kondisi cuaca saat ini ada turun hujan agar tanamannya masih bisa diselamatkan.

"Kondisi iklim saat ini masih ada harapan terselamatkan karena informasi dari BMKG musim kemarau sekarang kondisinya La Nina kemarau basah, bukan El Nino kemarau kering seperti tahun 2023, masih dimungkinkan sepanjang musim kemarau ada turun hujan," katanya.

Ia menyampaikan dengan kondisi saat ini kemungkinan dampak kemarau terhadap areal pertanian tidak akan terlalu besar, angka lahan kekeringan saat ini jika dipersentasekan hanya 0,22 persen dari luas pertanaman padi per akhir 31 Mei 2024 sekitar 32.325 hektare sedangkan luas kekeringan 73 hekatre.

Meski begitu, kata dia, petani juga harus mewaspadai dengan risiko dari adanya ancaman serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) atau hama yang menyerang tanaman karena kondisi cuaca saat ini biasanya menyebabkan kelembaban pada lingkungan maupun tanaman meningkat, sehingga mempercepat perkembangan cendawan maupun bakteri penyebab penyakit pada tanaman.

"Mungkin untuk musim kemarau sekarang dampak terhadap kekeringan tidak akan seluas tahun sebelumnya, karena kondisi iklimnya La Nina, namun yang perlu diantisipasi oleh petani pada saat memasuki La Nina adalah kewaspadaan terhadap serangan OPT atau petani biasa menyebutnya hama dan penyakit," katanya.

Baca juga: Kemenparekraf terus dorong pelaku ekonomi kreatif manfaatkan digital

Baca juga: Pemkab Garut tanam lima ribu pohon pulihkan lahan kritis





 

Pewarta: Feri Purnama
Editor: Agus Salim
COPYRIGHT © ANTARA 2024