Semarang (ANTARA) - Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang, Jawa Tengah, menjamin anak pasangan suami istri (pasutri) tunanetra yang tertolak sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA jalur afirmasi agar tetap bisa melanjutkan pendidikan.

Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, di Semarang, Rabu, mengatakan remaja putri bernama Vita Azahra tersebut merupakan bagian dari warga Kota Semarang yang berhak mendapatkan fasilitas pendidikan.

"Dia adalah bagian dari masyarakat Kota Semarang nanti kami berusaha untuk mem-back-up seluruhnya," kata Ita, sapaan akrabnya.

Penyelenggaraan jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) merupakan kewenangan pemerintah kota (pemkot), kata dia, sedangkan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi (pemprov).

Baca juga: Pj Gubernur Jateng minta buka posko aduan PPDB 2024

Meski Pemprov Jawa Tengah telah mendaftarkan Vita dan menanggung seluruh biaya di SMA Mardisiswa Semarang, Ita mengatakan tetap akan menyokong pembiayaan selama siswi itu sekolah.

"Pemkot Semarang ada beasiswa untuk SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Di kami juga ada anggaran untuk seragam bagi anak-anak yang kurang mampu," katanya.

Selain anggaran beasiswa yang sudah dialokasikan, Ita juga menyebut ada juga Program Gerbang Harapan (Gerakan Bersama Orang Tua Asuh untuk Pengembangan Hari Masa Depan).

Ia menjelaskan program itu merupakan upaya untuk menekan angka putus sekolah, dengan melibatkan masyarakat Kota Semarang yang berkecukupan diajak menjadi orang tua asuh bagi anak kurang mampu.

Program Gerbang Harapan itu berfokus pada pemenuhan kebutuhan penunjang sekolah, seperti seragam, buku-buku, dan alat tulis siswa-siswi di Kota Semarang.

Baca juga: Pemkot Semarang: Gerbang Harapan jaring orang tua asuh siswa tak mampu

"Kami gerakkan Gerbang Harapan saat ini sedang melakukan inventarisasi dan mendorong orang mampu masuk menjadi orang tua asuh," kata Ita.

Sebelumnya seorang calon siswi bernama Vita Azahra di Kota Semarang terancam tak bisa sekolah lewat jalur afirmasi lantaran terkendala Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial (Kemensos).

Kedua orang tuanya, Warsito (39) dan Uminiya (42), hanya bekerja sebagai tukang pijat di rumah kontrakan kecil di Jalan Gondang Raya, Kecamatan Tembalang. Dengan kondisi keluarganya, Vita seharusnya masuk kategori P1 (miskin ekstrem), tetapi pada DTKS Kemensos tercatat sebagai P4 (rentan miskin).

Sedangkan kriteria yang masuk dalam sistem PPDB 2024 pada jalur afirmasi hanya tiga yaitu P1 (miskin ekstrem), P2 (sangat miskin), dan P3 (miskin), sehingga membuat Vita gagal mendaftar PPDB SMA/SMK Jateng.

Baca juga: Anak-anak tunanetra pun miliki video catatan harian

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Risbiani Fardaniah
COPYRIGHT © ANTARA 2024