Jakarta (ANTARA) - Mantan narapidana terorisme (napiter) Muhammad Saifuddin Umar alias Abu Fida menyebut rekontekstualisasi semangat berjihad dalam ajaran Islam penting dilakukan untuk merawat kebhinekaan Indonesia.

“Rekontekstualisasi ini penting untuk merawat kebhinekaan di Indonesia, sehingga ayat-ayat jihad tidak dimaknai dengan kondisi yang tidak sesuai kenyataan,” kata dia sebagaimana keterangan tertulis Pusat Media Damai (PMD) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diterima di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, pemelintiran tafsir dalil agama seringkali disebabkan oleh seseorang yang tertekan atau dipolitisasi oleh pihak tertentu. Penafsiran firman Allah dan sabda Rasulullah harus dikembalikan kepada ulama yang kompeten.

“Sebagai manusia, kita hanya mampu menilai yang terlihat dan hanya Allah yang mengetahui yang tidak terlihat. Indonesia dengan segala kebhinekaannya harus terus dirawat dan dijaga dengan segenap kekuatan bangsa, termasuk umat Islam. Sinergi semua pihak dalam mencapai ridha Allah SWT adalah kunci untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan harmonis,” katanya.

Lebih lanjut, Abu Fida yang juga mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) dan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) itu menanggapi perihal JI yang resmi membubarkan organisasinya pada Minggu (30/6). Menurut dia, maksud sebenarnya dari bubarnya JI hanya diketahui Allah.

“Kita sebagai seorang muslim hanya mampu membaca secara zahirnya (yang tampak). Nabi Muhammad mengajari kita untuk menilai orang, komunitas, atau apapun kelompoknya itu dengan apa yang tampak atau bisa dilihat mata. Jadi secara batin atau niat dari seseorang, hanya Allah yang mau tahu,” ucap dia.

Di sisi lain, dia menyebut bubarnya JI dan penangkapan terhadap anggota organisasi itu dalam beberapa waktu ke belakang bisa berdampak terhadap nihilnya serangan terorisme pada tahun 2023.

“Ini bisa dianggap sebagai implikasi dari pembubaran JI, yang sebenarnya sudah beberapa kali terjadi penangkapan terhadap anggotanya, dan ikrar setia pada NKRI yang diucapkan oleh mantan anggota JI seperti Siska Nur Azizah,” kata dia.

Namun, dia mengakui bahwa orang yang memiliki ideologi kekerasan memerlukan proses berkesinambungan untuk membuatnya menjadi terbuka pada perbedaan.

Ia percaya bahwa menghilangkan pemahaman berbahaya ini memerlukan kerja sama dengan berbagai pihak. Salah satunya, dengan melibatkan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan dan kebersamaan, sehingga lingkungan tempat tinggal bisa menerima kembali para mantan napiter.

Selain itu, sambung dia, mantan napiter juga perlu membentuk kesadaran diri tentang pentingnya toleransi dan moderasi beragama melalui berdiskusi dan berdialog untuk menemukan kebenaran sejati.

“Ini semua dilakukan agar mantan napiter tidak kembali terjebak pada pola kekerasan sebelumnya yang hanya menjadikan agama sebagai pembenaran atas agenda atau tindakan brutalnya,” katanya.

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Agus Setiawan
COPYRIGHT © ANTARA 2024