Jakarta (ANTARA News) - Gerakan Pramuka mendukung penerapan hukuman yang berat terhadap pelaku kejahatan terhadap anak menyusul maraknya tindak kekerasan yang terjadi pada anak di bawah umur.

"Hukuman terhadap pelaku kejahatan anak di bawah umur saat ini maksimal 15 tahun. Saya kira perlu lebih berat lagi, kalau perlu hukuman mati," kata Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramukan Adhyaksa Dault seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Antara, di Jakarta, Senin.

Di sela-sela acara Orientasi Kepramukaan di kampus Universitas Cendrawasih, Jayapura, Senin, Adhyaksa menyatakan mendukung upaya menempatkan kejahatan terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

"Ini memang bukan kejahatan biasa, jadi penanganannya juga harus luar biasa. Masa depan bahkan nyawa anak menjadi taruhannya," kata dia.

Di depan ratusan mahasiswa dan Pramuka yang hadir, Adhyaksa menegaskan penting dan mendesaknya sikap tegas terhadap para pelaku kejahatan anak.

Menurut Adhyaksa, Gerakan Pramuka sebagai wadah pembentukan mentalitas anak bangsa wajib mendukung upaya-upaya menjaga masa depan dan nyawa anak bangsa Indonesia.

"Anak itu masa depan bangsa. Ini mungkin gagasan baru (kejahatan anak sebagai extraordinary crime), tapi keberadaannya sangat penting untuk menyelamatkan nasib anak bangsa kita. Kita harus mendukung bersama seluruh elemen bangsa agar anak-anak kita terlindungi," ujarnya.

Ketua Komisi Nasional Perlindungaan Anak Arist Merdeka Sirait ketika bertemu secara tidak sengaja dengan Adhyaksa Dault di Bandara Jayapura juga merisaukan maraknya tindak kejahatan terhadap anak.

Komnas PA sendiri saat ini juga giat mengampanyekan kejahatan terhadap anak sebagai extraordinary crime. Arist berharap agar seluruh elemen masyarakat ikut mendukung upaya tersebut.

"Masyarakat harus ikut mendukung ini. Kalau tidak, sia-sia nasib anak bangsa kita," kata dia.

Komnas PA juga akan mengajukan judicial review terhadap UU Perlindungan Anak yang menerapkan hukuman maksimal 15 tahun penjara bagi pelaku kekerasan terhadap anak ke Mahkamah Konstitusi.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2015