Jakarta (ANTARA) - Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan bahwa progresivitas hakim menjadi nilai penting dalam memutuskan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2024 oleh hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
 
"Memang hukum akan selalu tertinggal oleh realitas yang ada di tengah masyarakat. Yang bisa menjembataninya adalah progresivitas dan independensi hakim," kata Titi ketika dihubungi di Jakarta, Rabu.
 
Menurut dia, jika hakim MK hanya menggunakan pendekatan legalistik formal, akan ada pihak yang terus menyiasati hukum agar aturan tidak bisa bekerja secara efektif dan situasi status quo akan terus dipertahankan.
 
Titi menilai rekomendasi bagi KPU dan Bawaslu dalam putusan PHPU Pilpres 2024 mengindikasikan adanya kekosongan hukum oleh penyelenggara pemilu dan penegakan hukum oleh lembaga pengawas pemilu yang komprehensif.
 
Terlebih, kata dia, apabila putusan selalu berakhir dari sisi hakim yang hanya memandang secara sisi hukum, keadilan dalam perkara sengketa pemilu tidak akan pernah hadir.
 
Maka dari itu, lanjut Titi, para hakim MK dalam menangani perkara PHPU pada masa mendatang perlu menggunakan pendekatan pemilu yang progresif yang bertujuan dalam aspek perbaikan serta pemulihan pada masa depan.
 
"Jadi, ketika hakim mampu berpegangan pada prinsip asas dan fundamental soal keadilan dan kesetaraan kompetisi, situasi kekosongan dan ketiadaan hukum tidak menjadi hambatan untuk menghadirkan keadilan," kata dia.

Baca juga: Haedar sebut penerimaan putusan PHPU Pilpres cerminkan kenegarawanan
Baca juga: Pakar hukum UGM sebut putusan sengketa pilpres amanatkan sejumlah PR
 
Sebelumnya, MK memutus dua perkara sengketa Pilpres 2024 yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Sidang pembacaan putusan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.
 
Dalam amar putusannya, MK menolak seluruh permohonan yang diajukan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Pranowo. Menurut MK, permohonan kedua kubu tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
 
Atas putusan itu, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga hakim konstitusi: Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Pada intinya, ketiga hakim konstitusi tersebut menyatakan seharusnya MK memerintahkan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.
 
Dalam petitumnya, Ganjar-Mahfud maupun Anies-Muhaimin pada intinya meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
 
Mereka juga memohon MK mendiskualifikasi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024, kemudian meminta MK memerintahkan kepada KPU melakukan pemungutan suara ulang Pilpres 2024 tanpa mengikutsertakan Prabowo-Gibran.

Pewarta: Nadia Putri Rahmani
Editor: D.Dj. Kliwantoro
COPYRIGHT © ANTARA 2024