Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K), membagikan beberapa syarat anak dengan autisme bisa belajar di sekolah inklusif.

Dalam sebuah diskusi tentang autisme di Jakarta, Kamis, Hardiono mengatakan syarat pertama yang harus diperhatikan sebelum memasukkan anak dengan autisme ke sekolah inklusif ialah intelligence quotien (IQ), tingkat kecerdasan intelektual, di atas angka 70.

“Nomor satu, IQ dia mesti cukup untuk masuk ke sekolah inklusif, IQ-nya itu perlu di atas 70,” kata Hardiono.

Apabila IQ anak dengan autisme berada di bawah angka 70, maka dia bisa disebut sebagai disabilitas intelektual, yaitu fungsi adaptif anak berkurang yang bisa menyebabkan kesulitan bertemu atau berbaur dengan banyak orang. Kondisi tersebut membuat anak disarankan masuk ke sekolah khusus dibandingkan sekolah inklusif supaya mendapat bimbingan dan materi belajar yang lebih tepat.

Baca juga: Dokter: Autisme pada anak tidak selalu dipengaruhi oleh faktor genetik

Syarat kedua yang dia sebutkan yakni anak dengan autisme mempunyai perilaku baik sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan oleh sekolah. Misalnya, anak tidak berperilaku kasar dan memiliki kemauan belajar yang tinggi.

“Anak harus berperilaku bagus, bisa adaptasi dengan lingkungan. Tidak memukul, menggigit atau menusuk teman-temannya, ya. Kalau tidak, sekolah enggak ada yang mau menerima anak itu nanti,” kata Hardiono.

Anak dengan autisme diharapkan bisa berbicara dengan bahasa yang jelas meski hanya sedikit dan bisa berkomunikasi bersama teman-teman di sekolah agar pembelajaran dapat berjalan dengan lebih nyaman bagi kedua pihak.

Hardiono menekankan sekolah tidak boleh mengabaikan atau memberikan perilaku yang tidak adil terhadap murid dengan kebutuhan khusus maupun autisme. Apabila ada kekurangan, para guru dapat dengan sabar menciptakan ruang belajar yang baik untuk anak-anak.

“Masuk sekolah itu seperti anak biasa saja. Kalau dia ada yang kurang, misal kayak anak sekarang nilai matematikanya kurang, guru bisa kasih mereka bantuan les, atau mungkin anaknya tiba-tiba mau jalan-jalan, dibawa saja keluar dulu main trampolin sebentar,” kata dia.

Sebagai bentuk pendampingan pada anak autisme maupun berkebutuhan khusus, dia tidak menyarankan sekolah untuk menggunakan konsep shadow teacher yakni seorang guru yang selalu berada di sisi anak untuk menjaganya. Dia khawatir apabila sekolah berlarut menerapkan shadow teacher, maka minat anak untuk belajar akan berkurang, demikian pula dengan guru yang memiliki kewajiban untuk mengajar.

“Hanya boleh di awal, kalau anak tidak bisa duduk diam di kelas boleh pakai shadow,” kata dia.

Dalam kesempatan itu, Hardiono meminta setiap pihak untuk tidak membedakan sekolah inklusif maupun sekolah reguler. Menurut dia, semua tipe sekolah setara dan perlu memberikan pelayanan pendidikan yang baik bagi murid-muridnya.

Baca juga: Dokter: Sikap cuek merupakan salah satu tanda autisme pada anak

Baca juga: Kenali tanda-tanda anak terkena gangguan autisme

Baca juga: Membuka potensi tersembunyi anak dengan autisme melalui seni


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Natisha Andarningtyas
COPYRIGHT © ANTARA 2024